1. Pendahulan
Perubahan iklim telah menjadi isu global yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif dari perubahan iklim, seperti peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, dan frekuensi bencana alam, memerlukan respons adaptif dan mitigatif yang terintegrasi. Di tingkat lokal, program Kampung Iklim (ProKlim) yang diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, menjadi salah satu langkah konkret untuk mendukung aksi iklim.
Padukuhan Blimbingsari, sebagai wilayah padat penduduk dengan sistem drainase yang baik, memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan ProKlim. Upaya ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan ke-13, yaitu Climate Action atau aksi terhadap perubahan iklim. Namun, potensi ini belum sepenuhnya dioptimalkan karena keterbatasan pada aspek edukasi masyarakat terkait perubahan iklim dan kurangnya infrastruktur pendukung untuk implementasi program ProKlim.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat di Padukuhan Blimbingsari diinisiasi untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan terkait infrastruktur ekodrainase. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran lingkungan serta kesiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya. Melalui serangkaian sosialisasi, edukasi, dan pelatihan, diharapkan masyarakat Padukuhan Blimbingsari dapat menjadi agen perubahan aktif dalam membangun wilayahnya. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif, kegiatan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kesadaran, tetapi juga mendorong partisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Langkah ini diharapkan dapat menjadikan Padukuhan Blimbingsari sebagai model lokal dalam implementasi ProKlim yang berkontribusi pada pencapaian SDGs di tingkat regional maupun nasional.
2. Permasalahan Mitra
Berdasarkan analisis situasi, terdapat beberapa permasalahan yang perlu diatasi di Padukuhan Blimbingsari, antara lain:
2.1. Keterbatasan Ekoinfrastruktur
Kegiatan urban farming sangat bergantung pada air PDAM, sementara potensi air hujan sebagai sumber alternatif belum dimanfaatkan dengan optimal. Oleh karena itu, sosialisasi dan pelatihan mengenai Pemanenan Air Hujan (PAH) diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.
2.2. Keterbatasan Tanah untuk Kelompok Wanita Tani (KWT)
Keterbatasan lahan di Padukuhan Blimbingsari membuat pengembangan urban farming menjadi sulit. Edukasi tentang pembuatan kompos dari limbah organik rumah tangga dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah dan memanfaatkan pot-pot di lingkungan sekitar.
2.3. Pengelolaan Sampah
Meskipun sudah ada bank sampah yang beroperasi, masih banyak warga yang membakar sampah, terutama di bantaran sungai. Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi mengenai pengelolaan sampah perlu diperluas, terutama bagi mereka yang masih kurang memahami pentingnya pengolahan limbah.
3. Metode Pelaksanaan
Kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan tema “Sosialisasi, Edukasi, dan Pelatihan PROKLIM di Padukuhan Blimbingsari” dimulai dengan perencanaan matang. Tahap ini melibatkan identifikasi kebutuhan melalui survei awal dan diskusi dengan tokoh masyarakat. Kriteria peserta meliputi kelompok masyarakat yang terlibat dalam permasalahan mitra seperti KWT, dan ibu-ibu PKK.
Kegiatan sosialisasi mengenalkan konsep PROKLIM, diikuti dengan edukasi interaktif mengenai eco-infrastruktur, PAH, pengomposan, penataan lingkungan, serta pengelolaan sampah. Kegiatan sosialisasi juga dilengkapi dengan demontrasi Instalansi Permanen Air Hujan (PAH) Gama Rainfillter yang sudah banyak dipasang dan dimanfaatkan di seluruh Indonesia. Tindak lanjut direncanakan berdasarkan hasil evaluasi, dengan mendorong partisipasi aktif warga dalam pengembangan ilmu yang telah didapatkan. Kegiatan ditutup dengan acara penutupan yang melibatkan seluruh peserta dan publikasi hasil kegiatan melalui berbagai media untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
4. Hasil dan Capaian Kegiatan
a. Perencanaan Pengembangan Infrastruktur Ramah Lingkungan (IPAH)
Padukuhan Blimbingsari dikenal sebagai wilayah yang padat penduduk, tetapi memiliki saluran drainase yang cukup baik sehingga jarang mengalami banjir. Meski demikian, potensi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup tetap menjadi perhatian utama, terutama dalam mendukung Program Kampung Iklim (ProKlim) yang digalakkan oleh pemerintah. Sebagai langkah strategis, direncanakan pembangunan Instalasi Pemanen Air Hujan (IPAH) di Balai Padukuhan Blimbingsari. Infrastruktur ini tidak hanya bertujuan untuk mengelola air hujan secara optimal tetapi juga akan dimanfaatkan sebagai sumber air untuk mengairi sistem pertanian hidroponik yang direncanakan di kawasan tersebut.
Dengan demikian, air hujan yang melimpah tidak hanya dialirkan ke drainase, tetapi juga diberdayakan untuk mendukung kebutuhan masyarakat. Keberadaan IPAH juga diharapkan dapat mendukung green infrastructure atau infrastruktur ramah lingkungan di Blimbingsari. Konsep ini akan memperkuat ketahanan lingkungan setempat dengan mengintegrasikan teknologi sederhana dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Selain itu, IPAH akan menjadi contoh nyata bagi masyarakat tentang pentingnya inovasi lingkungan yang tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan warga.
b. Sosialisasi dan Pendidikan Masyarakat
Kegiatan sosialisasi, edukasi, dan pelatihan terkait Pemanenan Air Hujan (PAH) diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Materi ekodrainase yang disampaikan oleh Dekan Sekolah Vokasi, Prof. Dr-Ing. Ir. Agus Maryono, IPM. ASEAN.Eng, diawali dengan pembahasan tentang krisis air bersih sebagai masalah global (Gambar 2). Pemaparan ini bertujuan memberikan pemahaman bahwa air bersih memerlukan perhatian khusus, terutama karena pembangunan drainase konvensional saat ini sering kali memicu banjir di wilayah padat penduduk akibat kapasitas penyimpanan air yang terbatas saat hujan deras.
Sebagai alternatif, konsep ekodrainase diperkenalkan untuk menggantikan sistem drainase konvensional. Dengan prinsip TRAP (Tampung, Resapkan, Alirpkan, Pelihara), ekodrainase memungkinkan air hujan tetap bersih dan tidak tercampur dengan air kotor, sehingga dapat dimanfaatkan lebih optimal. Pendekatan ini juga dikaitkan dengan tiga komponen utama dari indikator penilaian Program Kampung Iklim (PROKLIM), yaitu kegiatan adaptasi perubahan iklim, mitigasi perubahan iklim, serta penguatan kelompok masyarakat dan dukungan berkelanjutan.
Selain paparan materi, demonstrasi instalasi PAH oleh BSO REC DTS UGM memberikan gambaran teknis mengenai cara kerja dan komponen sistem yang dirancang untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan. Kegiatan ini bertempat di Balai Padukuhan Blimbingsari dengan instalasi yang disiapkan khusus untuk memudahkan masyarakat memahami implementasi teknologi ini. Pemanenan air hujan diharapkan dapat membantu mengurangi ketergantungan pada air tanah, menghemat biaya, dan berkontribusi dalam menjaga lingkungan. Adapun, diluar edukasi teknis, kegiatan ini juga mencakup pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat, khususnya lansia, sebagai bentuk kerjasama untuk meningkatkan kesadaran kesehatan.